
YOGYAKARTA, JOGNEWS.COM -- Ahmad Djauhar, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers, Dewan Pers mengingatkan agar wartawan media mainstream harus menjaga disiplin verifikasi agar tidak terseret pada berita hoax. Sebab saat ini banyak sekali informasi di media sosial (Medsos) telah menjadi bahan berita bagi wartawan media mainstream.
Ahmad Djauhar mengemukakan hal tersebut pada Webinar ‘Pencegahan Penyebaran Berita Hoax Menjelang Pemilu Pilkada 2020 di Media Massa’ yang digelar Dewan Pers bekerjasama dengan Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo, Selasa (15/9/2020). Webinar menampilkan pembicara Ahmad Djauhar, Triapsi Haryadi (Ketua KPU Sleman), Anton Wahyu Prihartono (Ketua Asosiasi Media Siber Yogyakarta (AMSY), dan Prof Henri Subiakto (Staf Ahli Kementerian Bidang Hukum, Kementerian Komunikasi dan Informasi).
Lebih lanjut Djauhar mengatakan berdasarkan data Dewan Pers mayoritas wartawan memilih jalan pintas untuk menulis, menemukan ide menulis berita, dan memverifikasi fakta hanya mengandalkan sumber Medsos. Data penggunaan Medsos bagi wartawan profesional adalah 50 persen Medsos menjadi ide menulis berita, 58 persen untuk mendapatkan data berita, 28 persen untuk verifikasi, 43 persen untuk memonitor isu, dan 9 persen digunakan aktivitas lain. “Sebanyak 85 persen media sosial digunakan untuk mencari ide menulis berita,” kata Djauhar.
Untuk menekan hoax, Djauhar mengharapkan wartawan harus bisa membedakan informasi dan berita. Informasi yang bertebaran di Medsos merupakan informasi awal yang disampaikan seseorang dan diterima sebuah institusi media. “Sedang berita adalah kumpulan informasi yang telah dicek kebenarannya dan diverifikasi sebelum disampaikan kepada publik atau masyarakat luas,” kata Djauhar.
Produk Medsos, kata Djauhar, berupa informasi yang merupakan produk individual dan tidak ada tanggung jawab. Pengelola memanfaatkan kemajuan teknologi dan identitas dapat dipalsukan. Media yang digunakan twitter, facebook, whatsApp, line, path, instagram dan lain-lain. Sumber berita yang digunakan bisa resmi, bisa tidak jelas, dan bisa hasil rekayasa.
Sedang Produk Pers, berupa berita dan artikel. Berita ditulis oleh wartawan profesional dan memiliki kompetensi. Penerbit berbadan hukum, ada tim redasi, standarisasi, penanggung jawab, mematuhi kode etik jurnalistik, dan sumbernya resmi.
Pada Pileg dan Pilpres 2014, kata Djauhar, banyak berita hoax masuk ke media mainstream. Hal ini disebabkan, pertama, pemilik media membuat partai atau masuk partai dan menggunakan medianya untuk kampanye. Kedua, sejumlah partai membuat media baru. Ketiga, banyak wartawan menjadi calon legislatif atau joki politik. Kelima, sejumlah wartawan merangkap menjadi tim sukses.
Keenam, politisi menari-narik wartawan, mengunjungi media atau organisasi wartawan untuk mendapatkan simpati serta ditulis beritanya. “Akibatnya, publik kehilangan kepercayaan terhadap netralitas pers dan kebenaran media,” tandas Djauhar.
Karena itu, Djauhar mengharapkan Media harus mengikuti peraturan Dewan Pers. Sebab peraturan tersebut merupakan wadah pemikiran, pengambilan keputusan bersama komunitas pers nasional pasca reformasi.
Sementara Henri Subiakto mengatakan pers sudah memiliki aturan internal untuk netral. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas wartawan. Misalnya, melarang wartawan menjadi partisan, dan tim sukses.
“Ironinya, sebagian besar pemilik media, pimpinan redaksi, atau redakturnya secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi malah menjadi pendukung atau anggota partai politik. Jadi bukan non partisan, tetapi malah berlomba mendekati para kandidat dan menjadi bagian dari mereka,” kata Henri.
Jika dalam Pilkada ada konflik, kata Henri, seharusnya Pers harus belajar dan memahami konflik. Prinsipnya, Pers harus netral dan seimbang dari kedua sudut yang berkonflik. Berita-berita yang ditampilkan harus seimbang dan tidak memihak sehingga bisa menjembatani pihak-pihak yang bersengketa. “Sayangna, Pers sudah menjadi bagian dari konflik itu sendiri atau malah mengambil keuntungan dari konflik tersebut,” katanya.
Untuk menghindarkan masuk dalam konflik, Henri menganjurkan agar Pers harus memiliki perencanaan dan kesiapan internal untuk menghadapi krisis. Perencanaan harus dilengkapi dengan mekanisme yang harus dilakukan, termasuk tim yang bertanggung jawab, dan diuji melalui diskusi serta simulasi.
“Idealnya, Pers itu sebagai pusat fact checker selama Pilkada. Pers berperan sebagai pencerah, promoting smart public, harus kritis terhadap lalu lalang informasi. Pers menempatkan diri sebagai referensi obyektivitas dan akurasi berita di tengah belantara informasi,” kata Henri.